PENJUAL
MAINAN KELILING DITENGAH GEMPURAN TEKNOLOGI
Sumber gambar: google
Berterima kasihlah kepada tukang odong-odong
yang masih dengan setianya muterin lagu anak-anak. Meski lelah melanda, meski
jengah menggoda, mereka tidak pernah berhenti untuk memainkan lagu anak-anak
yang cukup terkenal pada masanya sembari mengayuh sepedanya mengitari jalanan.
Lagu anak-anak yang populer pada tahun 90-an. Ya, anak 90-an pasti tahu, hafal
dan bahkan kenal dengan beberapa penyanyi cilik yang saat itu menyanyikan lagu
anak-anak tersebut.
Sekarang,,,,
Jangankan
lagu anak-anak, anak-anak yang nyanyi lagu anak-anak pun bahkan bisa terbilang (sangat)
sedikit. Ajang (yang katanya) penyanyi cilik, sekarang sudah enggan
lagi menyanyikan lagu anak-anak. Mereka lebih pede, lebih bersemangat malah
ketika menyanyikan lagu (yang harusnya) untuk orang gedhe/dewasa. Lagu cinta,
patah hati, dan lagu galau sudah menjadi tema lagu yang umum dinyanyikan anak
kecil. Mungkin memang sudah masanya, lagu anak-anak “tenggelam” oleh zaman. Mungkin lagu anak-anak tidak lagi cukup
“menjual”. Saya juga tidak tahu dan tidak bisa berbuat banyak
Tapi…
saya mengakui (sangat) salut buat si tukang odong-odong yang (secara tidak
langsung) mau melestarikan lagu anak-anak. They’re rock!
Terharu
Tidak hanya menawarkan lagu anak-anak, tapi permainan yang menurut saya
(terbilang) sederhana. Meski harus merogoh kocek antara 5000 perak (CMIIW),
anak-anak bisa sebahagia itu jika sedang naik odong-odong.
Simbiosis
mutualisme lah, si abang odong-odongnya seneng karena dapat rejeki, si anaknya
seneng karena dapat hiburan seperti itu. Si Ibu/Bapaknya seneng, karena
ngelihat anaknya seneng. #eaakk!
Permainan
tradisional seperti kelereng, bekelan, lompat tali, petak umpet, dll, adalah
permainan yang membutuhkan kerjasama. Permainan ini sudah sangat jarang, dan
(sepertinya) hampir punah jika tidak ada seorang yang mau melestarikan atau
anak-anak yang memainkannya.
Jangankan
permainan tradisional, permainan jadul (jaman dulu) saja sudah mulai “tergusur”
oleh teknologi.
Anak-anak
jaman sekarang sudah mulai tertarik dengan gadget bernama smartphone/tablet.
Orangtuanya males, tidak mau ribet, karena (mungkin) anaknya banyak
polah/tingkah. Jadi biar gampang, kasih saja gadget biar diem, duduk, anteng.
Padahal, gadget (menurut saya) membunuh imajinasi anak.
Coba
dengan permainan jadul seperti mobil-mobilan, pesawat, atau orang-orangan.
Anak-anak jadi dilatih untuk berimajinasi sembari memainkan mainannya dengan
cerita-cerita random versinya. “Ciiaatt!!… ciiaatt!! Tuiingg… Duaarr!!”, begitu
kira-kira dialog anak kecil jika sedang memainkan robot-robotan. Lucu, gemesin,
melihat tingkah polah anak kecil ketika asyik bermain. Apakah hal seperti itu
dijumpai di anak yang sedang bermain gadget.
Well,
tidak ada salahnya ketika anak merengek meminta mainan di saat ada bapak
penjual mainan lewat.
Kebahagiaan
itu sederhana, anak kecil yang sangat senang saat membawa balon (mainannya)
sambil berlari ke sana kemari. Beberapa kali saya melihat anak kecil yang
sangat senang membawa balon hasil beli dari bapak penjual mainan. Mungkin
menyebalkan, saat kita tidak membawa uang yang cukup dan pada saat itu anak
kecil merengek meminta mainan yang dilihatnya. Setidaknya, kita sudah
mengajarkan kesederhanaan, mengajarkan tentang berimajinasi.
Ya
paling tidak, kita sudah memberi rejeki pada bapak penjual mainan di
tengah-tengah gempuran urban dan teknologi.
‘’Kita
tidak akan tahu, bahwa hidup berawal dari mimpi. Dan mimpi ada karena
imajinasi. Sementara imajinasi, bisa muncul dari hal-hal yang sederhana’’
Pesan
moral dari tulisan ini adalah, sekali-kali (dalam bahasa Jawa) “mayokke” (Artinya apa ya? “Membuat laku”, atau bahasa awamnya
“membeli atas rasa iba”) penjual mainan.
Habisnya
kasihan, mereka kalah sama teknologi.
Ganbatte
ya Bp/Ibu penjual mainan..
Buat
bp/ibu penjual mainan semoga jualannya laris manis. Aamiin.
Dikutip
dari
Sumber:
DETIKblog.
Sumber gambar : Google
Sumber gambar : Google
Tidak ada komentar:
Posting Komentar